Al-Kahfi

Reza Fahlevi
15 min readFeb 18, 2022

--

Photo by Andreea Ch from Pexels

— —

Yang Terukir di Jalan Hamzah

“Semua diawali saat hatiku baru saja patah.”

01–02–2022

Tanpa ku sadari ternyata Februari sudah mendekap sisi batinku. Kini berpikir dan merenung, haruskah aku menjadi orang lain dan tak ku hiraukan batas kemampuan? Atau tetap menjadi diri sendiri yang punya banyak keterbatasan. Ini adalah aku yang mencoba tenang dalam kegelisahan yang tak menentu. Bersikap seolah masih baik-baik saja di tengah batin ini bergoncang sebab memendam perasaan cinta.

Ada wanita yang bernama Awsya. Ku namai demikian sebab telah tersemat padaku sebuah ingatan; perjumpaan pertama. Bisa dikatakan sebagai awal bertemunya lagi diriku di titik keteduhan, juga bisa dikatakan berupa ingatan yang nanti diriku memilih untuk mencintainya dalam diam.

Dahulu, ketika ku pikir arah perasaan hati ini hanya ingin menuju kepada seorang wanita lainnya, yang telah ku idamkan sejak lama, ku pendam rahasianya selama satu setengah tahun, serta ku rangkai imajinasinya sedemikian rupa... pada akhirnya pupus dengan balasan yang sungguh menyakitkan hati.

Patahlah hatiku yang berharap terlalu banyak, seperti terhempas dari sebuah gedung tertinggi, menghantam tanah hingga meremukkan seluruh tubuh. Aku sempat luluh dalam ketidakberdayaan karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Menganggap bahwa wanita itu yang akan menjadi satu-satunya sosok yang mencintaiku... ternyata, aku menghabiskan waktu hanya untuk menerima kenyataan pahit.

Aku harus menjalani ling-lungnya hidup; terjebak dalam kehampaan, terjerat rantai air mata pilu, hingga merasakan ada sesuatu yang mati di dalam batin. Cinta yang tak terbalaskan, bagiku itu adalah realita yang terlalu sukar untuk dihadapi. Sampai pada akhirnya, entah hanya kebetulan atau memang takdir Tuhan, aku seakan berjalan dengan sendirinya, bertemu dengan wanita lain, bertegur sapa, saling bertukar senyuman... dialah Awsya — seakan menopangku untuk berdiri kembali.

Awsya... ku rasakan, dirinya seperti menjulurkan tangan padaku, membantuku untuk bangkit. Ku rasakan, dia yang datang saat aku terduduk termenung seorang diri, memberi warna dengan senyuman yang awalnya ku anggap biasa saja.

Dia, ku rasakan dari kedua bola matanya, membiarkanku menyimpan cahaya yang dulunya tak pernah tampak... seolah-olah mengerti terhadap diriku yang terombang-ambing tak menentu dalam kabut kegelapan.

Awsya, adalah wanita yang terus membuat diriku bertanya dalam hati, "kenapa dia seperti itu?"

Sebab, ia seperti sengaja datang padaku yang sedang berdamai dengan luka hati. Dan caranya bersikap berhasil membuatku menjadi lebih hidup — Awsya menitipkan pesan telepati untuk ku pahami bahwa dia akan menjadi orang yang memahamiku nantinya.

Dan aku adalah orang yang beruntung, sebab kesederhanaanku berjalan di jalur garis yang sama dengannya. Yang ku sukai juga dimengerti olehnya, dan yang menjadi keengganannya, ku maklumi olehku — kami saling menerima keterbatasan serta kekurangan, dan menganggap semuanya lumrah.

Awsya adalah waktu yang berdetik berlalu, di bawah rindangnya pohon, kami adalah saksi betapa banyaknya ocehan yang terungkapkan meski tak ada satu pun yang penting. Tapi terus terlisankan sebab dia dan diriku hanya ingin membuat waktu berhenti, hanya untuk saling mendengar dan bertukar isi batin.

Titik-titik keteduhan di bawah aura kesejukan desir angin, aku terlahir kembali sebagai seorang lelaki yang sempat mati harapan. Awsya membuatku menjadi lebih hebat dengan caranya yang begitu sederhana.

Tercatat dalam buku harianku, bahwa senyumannya telah menarikku keluar dari kehampaan cinta yang diabaikan. Dan tertulis di sebuah halaman khusus, betapa Jalan Hamzah menjadi saksi bagaimana Awsya setia duduk di sampingku, sedang aku sibuk menggambarkan ilustrasi ukiran senyumannya di dalam puisi imajinasi.

Sejak saat itu, ku simpan nama aslinya, ku arsipkan senyumannya, ku rekam suara lisannya, dan ku abadikan wajah syahdunya. Sampai suatu waktu aku tersadar, Awsya telah membuatku jatuh cinta dengan pembawaannya yang sangat-sangat sederhana.

Selebihnya, banyak ku rangkai namanya di dalam buku harian sampai pada akhirnya aku harus rela membakar semua itu. Sebab, di antara beberapa pilihan, aku mesti bertahan hidup sambil melihatnya lenyap dari tatapan mata karena aku terlalu banyak persepsi dan menunggu. Meskipun begitu, serpihannya masih tetap tinggal di hati.

Hingga kini aku menyimpan jejak langkahnya, Awsya adalah wanita yang sampai detik ini masih ku titipkan doa kepada Tuhan, jika memang dia adalah sosok perempuan yang akan menjadi bagian dalam kisah buku harianku.

Februari ini, aku tak ingin terlalu berandai ataupun berimajinasi jauh. Hanya bait-bait puisi yang mampu ku rangkai sebagai ungkapan terisirat bahwa, Awsya adalah wanita yang ku harapkan menjadi realita... di depan mata dan dalam hatiku.

Entahlah, Februari ini masih di angka satu dan aku mesti menunggu hingga tiba di angka 18. Sejauh ini diri berharap, aku yakin ada ketulusan yang sampai saat ini masih ku pendam, ketulusan untuk mencintainya seumur hidup.

Jalan Hamzah

Aku mengenal Awsya sejak SMA dan termasuk lama untuk akrab sebab kami baru memulai pembicaraan saat kelas tiga, itu pun saat Ujian Nasional sudah berakhir. Sebenarnya, dia sudah satu sekolah denganku sejak SMP, tapi entah kenapa aku tak pernah berjumpa dengannya.

Proses perkenalanku dengannya tak ada satu pun yang spesial, hanya saja dia datang di waktu yang sangat-sangat tepat. Betapa tidak, aku baru saja patah, hilang kendali, terasa seperti putus harapan — semua karena cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Dulu, ada perempuan yang sangat ku kagumi. Berbagai hal ku alami hingga pada akhirnya aku berani mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku menyukai perempuan itu. Tapi, aku terlahir dengan satu kekurangan yang ku sebut sebagai ketidakmampuanku mengutarakan perasaan. Ya, aku suka tapi hanya dalam diam. Tak berani untuk mengungkapkan perasaan.

Namun, semakin ku tahan, semakin terasa tersiksa. Maka, setelah pengumuman Ujian Nasional, tepat di malamnya aku memberanikan diri untuk jujur kepada wanita itu. Modalku saat itu hanya melalui pesan singkat saja, ku perjelas semuanya di situ sampai ku dapati sebuah balasan — sebuah kebenaran yang membuatku sadar bahwa selama ini aku memgutarakan perasaan terpendam hanya untuk mendapat balasan berupa cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Kala itu, ada dua hal yang ku ingat dan masih teringat sampai sekarang: pertama, aku menerima keputusannya tanpa harus memaksanya menerima cintaku. Kedua: aku menganggap apa yang diputuskan olehnya sulit ku terima sebab dalam jangka waktu satu setengah tahun ku pendam perasaan ini, aku merasa sangat yakin sudah menyukainya dengan segenap ketulusan. Ada obsesi yang rela ku penuhi , obsesi yang ku anggap sebagai bukti bahwa aku benar-benar mencintainya.

Ku cari tau semua yang dia sukai dan rela duduk di depan kelas hanya untuk memandanginya pulang. Semua ku lakukan karna aku suka, karna ada rasa bahagia, karna dapat melampiaskan tekanan di dalam batin walau hanya sementara.

Lalu waktu terus berjalan dengan aku yang semakin luluh. Tapi, entah kebetulan atau memang sudah terencana, aku malah berjumpa dengan wanita lainnya — dialah Awsya. Yang awalnya aku biasa-biasa saja, tapi perlahan ku sadari ada sesuatu yang masuk ke dalam hatiku.

Awsya hadir di waktu yang tepat. Ku katakan demikian sebab bagiku, dialah yang sudah menyelamatkanku dari kesuraman cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dia datang membawa senyuman yang awalnya hanya ku anggap biasa saja. Tapi, waktu membuktikan bahwa senyuman itu mampu menerobos masuk ke dalam relung nadiku.

Ya, betapa aku masih teringat saat kami berdua menghabiskan banyak detik, duduk berdua di pos satpam yang di dekatnya ada satu pohon rindang — seolah memayungi kami berdua dari teriknya cuaca. Di situlah, entah kenapa dia yang dulu ku anggap sebagai perempuan biasa saja, saat itu ku tatapi matanya, ku lirik senyumannya — ada perasaan nyaman timbul dari hati. Dan aku merasa seakan tak ingin berhenti memandangi senyumannya, tak juga ingin berhenti mendengar dia yang terus berbicara.

Selalu ku katakan, bahwa Jalan Hamzah pernah menjadi saksi betapa aku terlahir kembali sebagai seorang laki-laki setelah terkubur jauh ke dasar tanah. Awsya datang, membantuku bangkit. Dan hebatnya, dia berhasil membuatku bangkit hanya dengan senyumannya itu.

Kode Tersirat dari Tatapan Mata

Sejak pertemuan kami, tak terasa ternyata Awsya se-asyik itu orangnya. Kami menjadi lebih dekat, lebih akrab, lebih memahami daripada sebelumnya. Namun yang sangat ku sayangkan adalah, kami dekat di balik perbedaan tempat kuliah yang kami pijaki. Seandainya kami bisa kenal lebih cepat saat masih SMA, mungkin ada satu cerita yang berbeda.

Waktu berjalan dan menyisipkan satu pertanyaan, “apa kini aku telah menyukai Awsya?”

Sedang aku masih lelaki sama, tak berani mengungkapkan perasaan. Ada beberapa alasan, tapi yang membuatku seperti ini adalah, pertama, aku masih ragu apa diriku benar-benar mencintainya?; kedua, jika ku ungkapkan, apa aku bisa menjaga janji agar dia tidak sakit hati nantinya?; ketiga, apa aku ini tulus padanya?; keempat, bagaimana jika Awsya tidak menyukaiku dan hanya menganggap sebagai teman saja?; kelima, bagaimana jika nanti ku khianati dia atau ku sakiti dia saat dirinya telah menerima cintaku?...

Persepsi-persepsi itu muncul sebab aku pernah merasakan yang namanya patah hati — rasanya begitu sakit seperti tercabik-cabik. Dan aku takut jika nanti aku berubah lalu meninggalkannya dan Awsya — dari awalnya menerimaku lalu menjadi sangat membenciku. Sungguh bagian akhir yang sangat ku takuti jika terjadi. Maka ku tahan, karna alasan-alasan itu. Selebihnya, barangkali karena aku gugup dan tidak terbiasa mengungkapkan perasaan.

Saat itu aku mesti membuktikan pada diriku sendiri seberapa cinta aku ini kepada Awsya. Dan ada dua tempat yang mestinya dapat menjadi kesimpulan akhir untukku bahwa, sebenarnya perasaanku ini memang nyata dan bukan hanya sekedar main-main belaka.

Aku pernah menghabiskan waktu di perpustakaan dengannya, bertukar cerita, selebihnya mengoceh hal-hal yang tak penting — kebiasaan kami jika sudah mengobrol. Saat itu, hatiku berkata, “ini saatnya kau ungkapkan semuanya…”

Tapi, sayangnya tidak kesampaian.

Kode Mata Awsya

Entah hanya imajinasiku atau memang benar, aku pernah melihat Awsya berbeda. Suatu sore aku mengajaknya buka puasa bersama. Tepat di hadapannya aku duduk mengobrolkan banyak hal. Tepat di hadapannya ku perhatikan ia — seakan menanti sesuatu — sesuatu yang tersangkut di hatiku.

Dalam mata Awsya yang menatap lurus ke arah mataku, seperti ada kode tersirat dari hatinya — seolah-olah dia berkata “Reza, coba jujur, apa yang mau kamu sampein ke aku…?”

Tapi tanda itu tidak ku sadari sampai berbulan-bulan kemudian, ku coba hayati bahasa tubuhnya yang tidak seperti biasanya, “apa Awsya benar-benar menanti ungkapanku saat itu?”

Sepertinya itu tanda yang berada di dua antara — antara pertama, Awsya menerima cintaku; antara kedua, aku terpisah darinya. Sayangnya, antara kedua adalah kenyataan yang harus ku terima sebab, berbulan-bulan setelahnya, ada laki-laki beruntung yang diterima cintanya oleh Awsya.

Membakar Buku Harian

Selama ku pendam rasa cinta ini, aku memilih melampiskannya dalam buku harian. Ku tulis semuanya; kegembiraanku, kesedihanku, ketakutanku, kekagumanku, cintaku. Segala emosi ku gambarkan dalam bentuk kata, aku mencoba menghibur diri.

Tapi, setelah meihat Awsya bersama laki-laki lain, diary ini seakan mencekik, merantai juga menghitamkan hatiku. Aku mencoba berdamai dari rasa penyesalan — menyesal sebab aku tak pernah bergerak untuk mengatakan cinta. Dan kenyataan yang ku dapati malah sama sekali berlawanan dari yang ku harapkan.

Seandainya dulu aku bergerak cepat, mungkin sampai sekarang Awsya terus berada dalam radar hatiku. Tapi, aku hanya semakin menyiksa diri — tersiksa karena memendam cinta, dan lebih tersiksa lagi saat mengetahui Awsya sudah menjalin hubungan dengan lelaki lain.

Tak dapat ku terima, sulit untuk menerima. Saat itu yang kurasakan hanya hampa, luluh, bahkan air mata menitik sendiri setiap malam — menangisi Awsya — menangisi kenyataan —

Sampai di satu malam, ku pikir semuanya sudah berakhir antara Awsya dan diriku. Maka, ku ambil buku harian ini, dengan berat hati ku bakar seluruh halamannya. Semua tulisan — bahkan nama Awsya yang ada di dalamnya lenyap menjadi abu di hadapan mataku yang menjadi saksi. Aku hanya ingin move on dan mengikhlaskan dia yang sudah menjalin hubungan cinta. Saat itu, melenyapkan kenangan adalah satu-satunya yang dapat ku lakukan… kenangan itu ada di dalam buku harian.

Rajutan Macrame

Rentang lima tahun aku tak pernah lagi berjumpa dengan Awsya walaupun sesekali masih berkomunikasi melalui telepon. Ada satu hal yang sangat membuatku bahagia yaitu, caranya bertukar pesan denganku tak pernah berubah sejak dulu — sejak pertama kali aku mengenalnya.

Tapi aku sudah menganggap diri lepas dari zona Awsya, aku sudah jauh dari radanya, aku tak lagi punya rasa terhadapnya. Saat ku pikir semua sudah berakhir, tersirat dalam hati setiap saat aku bersua dengannya; melalui Whatssap atau sekedar mengomentari story Instagram-nya — ada serpihan rasa masa lalu terselip di hatiku. Dan entah mengapa, batinku kembali bergejolak seakan mendorongku untuk berjalan kembali di radar Awsya. Tapi aku… masih dalam keraguan.

Meskipun demikian, ku beranikan diri untuk membulatkan tekad. Aku yang sudah lama tak berjumpa dengannya, betapa ingin untuk bersua walaupun hanya sebentar — meski hanya beberapa detik saja. Dan niat ini tercapai setelah aku berpura-pura memesan macrame yang memang dibuat sendiri oleh Awsya. Penantianku selama lima tahun, akhirnya terwujud.

Yang membuatku merasa begitu bahagia adalah, itulah momen di mana aku kembali dapat berjumpa dengannya, menatap wajah serta senyuman Awsya yang sudah sangat lama tidak lagi ada di hadapan mata. Semua masih sama sejak terakhir kali ku tatap dirinya; sinar mata, ukiran senyuman. Dia, memang tidak mengubahnya sama sekali.

Lalu, di momen ini pula aku seakan melampiaskan rindu kepada Awsya. Dari awalnya ku kira hanya akan bertemu dengannya sebentar saja, tapi kemudian malah berakhir dengan secangkir teh dan ngobrol sana-sini. Semua persis — persis sama seperti dulu.

Saat itu di rumahnya, aku menatap Awsya, caranya memandangiku juga tidak berubah. Aku seperti di bawa bernostalgia jauh ke masa lalu. Betapa, perasaan ini benar-benar ada dalam hatiku — dan kini ku akui kembali timbul. Awsya dan aku menghabiskan waktu — dia untuk kali kedua memberi warna di hatiku setelah sebelumnya aku juga mengalami penolakan cinta (untuk yang kedua kalinya juga). Seperti de javu.

Sejak itu, aku mencari kebenaran, apa kini perasaan dulu kembali terbit…? Lama ku hayati, menulis puisi, mengirim doa. Hingga pada akhirnya… aku memutuskan lagi… aku ternyata masih menyukai Awsya.

Memang buku harianku sudah terbakar hangus, tapi sebenarnya, rasa serta ingatan Awsya masih tersimpan rapi di hati dan pikiranku. Meski begitu, aku harus berbuat apa? Sebab, Awsya masih menjalin cinta dengan lelaki itu. Membuatku bingung, membuatku tidak bergerak… hanya terpaku.

Perjalanan Ke Meulaboh, Aceh Besar

Setelah ijab qabul terlisankan dari bibir abang sepupuku, aku dapat tersenyum bahagia untuknya, dan menahan rindu mendalam terhadap Awsya.

Dalam jarak yang sangat jauh, setelah subuh aku duduk sendirian di halaman depan losmen, mencoba berselimut dari sejuknya udara awal pagi. Ku bakar rokok karna ada sesuatu yang bergetar, aku malah memikirkan Awsya lebih parah dari sebelumnya.

Asap yang ku embuskan seakan menjadi ilusi di mataku, aku benar-benar mencintainya. Namun kini mulai khawatir — khawatir jika pada akhirnya Awsya menerima pinangan lelaki itu setelah ku pendam lama perasaan ini.

Aku masih belum mengungkapkannya sebab tak tau harus mulai dari mana. Pertama karena Awsya masih berpacaran, kedua hubungan mereka sudah lumayan lama juga, membuatku merasa seperti mustahil untuk setidaknya dapat mengungkapkan kejujuran yang tersembunyi ini.

Entahlah, karena hal itu, aku lebih sering mengirim doa kepada Tuhan, ku curahkan semuanya. Dalam ketidakberdayaanku, saat ini aku hanya pasrah apapun yang akan terjadi ke depannya. Tapi entah mengapa, semakin lama, aku semakin berani untuk mengharapkan Awsya.

Di sisi lain, aku merasa takkan pernah sanggup menerima kenyataan jika seandainya dia berjodoh dengan orang lain dan aku… tak pernah sama sekali memberi tau Awsya bahwa sejak SMA, aku sudah mencintainya — dan semakin mencintainya selama waktu berjalan.

Al-Kahfi

18 Februari 2022

Inilah hari di mana Awsya berulang tahun yang ke-25. Usia berlanjut, dia masih dengan senyuman yang sama.

Hati begitu ingin memberinya sebuah ucapan, dan hati ingin memberinya kado terindah. Dalam detik-detik yang berlalu, ku saksikan Awsya… saat ini aku memang berniat untuk mengungkapkan semua yang tersembunyi di batinku.

Aku adalah lelaki yang telah memendam cinta sejak dulu, ku yakini bahwa cinta ini adalah ketulusanku. Tahun-tahun berganti, aku masih berdiri di tengah perasaan sama kepada Awsya. Caraku menatapnya, caraku ceria di hadapannya, caraku mengkhawatirkannya, dan caraku memanjatkan doa — adalah kejelasan bahwa aku telah hadir bersama cinta yang sebenarnya — cinta yang ingin ku berikan pada Awsya.

Langkahku masih saja tertahan dan aku tak tau akan sampai kapan. Kini, yang dapat ku lakukan hanya curhat kepada Tuhan — ku katakan semua yang ku impikan, dan ku utarakan segala kekhawatiran. Semua hanya tentang Awsya.

Aku hanya bisa berdoa… barangkali ini sudah mencapai batasanku. Terlalu berat rasanya ku pikul perasaan terpendam ini. Hatiku terus meronta-ronta, memintaku untuk segera membeberkannya pada Awsya. Tapi, satu-satunya alasanku masih terpaku adalah dia yang masih bersama lelaki itu.

Februari ku awali dengan merasakan gejolak yang mengobok-obok hatiku. Februari ini pasti menjadi saksi betapa hatiku sudah semakin luluh. Ada kekhawatiran besar di dalam sini — perasaan takut jika seandainya lelaki itu meminang Awsya dan Awsya — dia…

Februari ini ku yakini pasti mendengar bagaimana diriku tanpa pernah berhenti menjadikan bait-bait puisi sebagai doa.

Juga ku yakini pasti, Februari pasti melihatku menangis… menitik sendiri air matanya yang sebenarnya aku sudah tak tahan lagi memendam cinta ini.

Entah bagaimana nanti ujungnya, yang jelas, hanya doa saja — ya doa saja… itulah hal terakhir yang dapat ku lakukan untuk saat ini. Selebihnya? Aku pasrah… pasrah di balik doa yang ku lantunkan setiap saat ini.

Dan ku tahu Februari sudah sampai di angka ke-18, tepat di hari Jumat… tepat dalam kebiasaanku membaca Al-Quran.

Tuhan menetapkan hari kelahiran Awsya di tanggal 18 Februari… dan juga Tuhan menetapkan salah satu Jumat di bulan ini berada di angka yang sama.

Ada satu surah kesukaanku, di tahun ini ku jadikan hadiah kepada Awsya. Angka 18 miliknya menyatu baik dengan surah kesukaanku — surah ke-18: Al-Kahfi.

Sejak tanggal satu hingga lima, aku merenung. Di kota Meulaboh, aku merasakan rindu nan panjang. Sekembalinya diriku dari jarak jauh yang memisahakan, aku gelisah tak karuan. Pendaman cinta yang ku sembunyikan — “Awsya” — , aku terus berharap lebih dari sebelumnya.

Ada air mata tumpah ruah membasahi pipi dan hatiku. Entah bagaimana kini perasaanku yang sudah tersiksa sejak ku pendam cinta yang ingin menuju kepadanya.

Aku… ingin memberi tau pada surah Al-Kahfi bahwa aku mencintai Awsya dengan tulus. Terhitung, rentang waktu delapan tahun aku berjalan mengarungi kehidupan dengan terus memendam cinta. Rentang waktu yang terlalu lama.

Aku hanya ingin curhat kepada surah Al-Kahfi bahwa senyuman Awsya semakin mekar di dasar hatiku.

Aku ingin memberi tahu kepada surah Al-Kahfi bahwa semua kisah antata diriku dan Awsya mulai terukir di Jalan Hamzah, tempat kami berpijak saat saling menatap.

Dan aku ingin bercerita kepada Al-Kahfi bagaimana aku berusaha membuktikannya kepada Awsya — dalam semua puisi yang tertulis, namanya tersisipkan di bait-bait khusus yang memang sengaja ku rangkai. Dan aku telah berusaha memberi tanda kepada Awsya — tanda cintaku.

Tapi aku tak pernah bisa melisankan ungkapan ini kepadanya karna satu hal saja. Dan Al-Kahfi tau alasannya.

Maka, dengan kerendahan diri ini, ku tunjukkan pada Al-Kahfi bagaimana ku lantunkan setiap ayatnya dengan bersungguh-sungguh, semampuku… seindah yang ku bisa… ku perlihatkan bukti bahwa aku sangat mencintai Awsya.

Aku hanya ingin Al-Kahfi menjadi kado tersyahdu yang pernah ku berikan kepada Awsya.

Aku ingin Al-Kahfi datang dan mengetuk pintu batin Awsya… meskipun ia hadir dalam mimpi wanita itu.

Dan ku titipkan harapan ini kepada Al-Kahfi, agar semuanya… agar semua rahasia terbuka di sisi-Nya — Tuhan Maha Mengetahui. Aku hanya ingin berusaha sebab, begitulah caraku mendapatkan cinta Awsya… begitulah caraku ingin mengungkapkan cinta.

Delapan belas milik Awsya terhubung dengan delapan belas milikku — hari ulang tahunnya Awsya terhubung dengan surah kesukaanku.

Dan sengaja ku niatkan semua atas nama Awsya… itulah hal yang dapat ku lakukan sejauh ini.

Dan, ku lantunkan surah ke delapan belas tepat di angka 18 Februari… begitulah aku mengungkapkan cinta melalui surah Al-Kahfi.

Karna aku juga tak ingin berubah, sebagaimana Awsya selalu menjadi dirinya sendiri.

Surah Al-Kahfi…

Awsya itu pintar merajut tali… dan aku suka merajut puisi.

Dia merangkai tali, aku merangkai kata.

Dia menyatukan tali, aku menyatukan bait.

Dia memberi keindahan pada tali, aku mencoba memperindah puisi.

Al-Kahfi, Bukankah tak apa-apa jika aku ingin merajut tali cinta untuk ku satukan dengan arah cintanya? Aku ingin berada dalam satu tali rasa bersamanya, dan bukankah semua masih memungkinkan?

Al-Kahfi… Tolong titipkan semua ini padanya — pada Awsya yang berada di seberang tol sana. Tolong katakan padanya, aku ingin membuat sebuah novel yang alurnya sudah tertulis sebagian. Dan aku hanya ingin melanjutkannya untuk menulis bagian paling terakhirnya di Jalan Hamzah… jalan di mana aku dan Awsya memulai kisah.

“Mohon sampaikan ucapan selamat ulang tahun pada Awsya. Tapi tolong panggil dia dengan nama asli, sebab itu miliknya, dan aku suka mendengarnya. Al-Kahfi, engkau pasti paham.”

“Terima kasih sudah menganggapku ada dan terima kasih sudah tersenyum padaku seperti itu. Sengaja ku simpan rajutan talimu di kamarku, karna memang itulah niatku sejak awal. Lagipula, aku juga sudah lebih dulu menyimpan namamu di hati ini, dan maaf karna sampai sekarang masih juga ku simpan saat kamu sudah menjalin cinta.”

“Di tengah mereka yang memintaku untuk menyudahi berharap padamu, di situ pula aku tak pernah berhenti menitipkan doa kepada Tuhan. Barangkali, masih ada kesempatan walau aku juga harus sadar diri. Maaf Awsya… karna kisah fiksi kita ini sedang ku coba jadikan menjadi kenyataan. Dan maaf, karna aku tak sanggup melihatmu pergi untuk kali kedua.”

“Singgahlah di tulisanku kapanpun kamu ada waktu. Di sinilah tertuang banyak kebenaran yang ku sembunyikan darimu. Barangkali, kamu mau mengerti… mungkin kamu juga memakluminya.”

“Karna cintaku ini telah terpendam bertahun-tahun lamanya… layaknya kamu yang merajut tali itu, semakin lama di rajut, semakin erat ikatannya. Dan perasaanku ini, ku yakini juga demikian.”

Dari lubuk hati terdalam, terimalah lantunan surah Al-Kahfi-ku, yang sengaja ku baca tepat di angka ke-18 milikmu. Barangkali Awsya — kamu dapat memahami sisipan cinta ini sebelum semua waktu terlambat.

— —

18 Februari 2022, Tanjung selamat

BREAKING REZA

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet