Aceh Milik Kita
Negeri bersejarah yang harus dijaga bersama
Picture by: https://www.instagram.com/p/CCKrWO8pbZ5/?igshid=es6tq4qehzk
Aceh, sebuah daerah paling barat di Indonesia, telah melalui berbagai macam hal yang ada. Mulai dari perang terhadap penjajah, konflik dengan negara, hingga terjangan gempa dan Tsunami pada tahun 2004 silam, menjadikan kisah tersendiri bagi masyarakat Aceh. Sejak dahulu Aceh telah dikenal sebagai negeri kerajaan Islam yang kemudian menyebar ke seluruh daerah Indonesia. Aceh, merupakan tempat persinggahan para pedagang di masa lalu, hingga seiring berjalannya waktu, Islam berhasil masuk dan mewarnai daerah ini dengan lebih syahdu. Oleh karena itu, sejak dulu, Aceh sudah kental dengan yang namanya syariat Islam. Ketentuan-ketentuan yang ada di daerah ini pasti berdasarkan atas syariat Islam.
Hal di atas dapat kita buktikan dengan mayoritas penduduk di Aceh beragama Islam. Bahkan banyak ulama-ulama hebat lahir dari negeri ini, sebut saja salah satunya yang paling terkenal adalah Syekh Abdurrauf as Singkili atau yang dikenal dengan nama Syekh Kuala atau Syiah Kuala, yang mana juga merupakan nama satu universitas terkemuka di Aceh. Selain itu juga ada tokoh yang sangat berpengaruh terhadap penerapan syariat Islam di Aceh, beliau adalah Tengku Daud Beureueh, salah satu dari sekian banyak tokoh yang juga memperjuangkan Aceh dari masa-masa kelam di awal Indonesia merdeka.
Aceh tak bisa dipisahkan oleh syariat Islam. Begitu panjang perjalanan Aceh di masa lalu hingga Islam memang sudah sangat kental di daerah ini. Dan oleh karena penerapan syariat ini, Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan aturan serta ketentuan berdasarkan Islam dan menjadikan provinsi ini sebagai salah satu daerah khusus di negara ini.
Penerapan syariat Islam di Aceh sejak dulu mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan. Sebagai orang yang belum terbiasa akan kebijakan tersebut atau orang-orang yang berada di luar Aceh yang sama sekali belum pernah mengunjungi provinsi ini, pasti kebanyakan menganggap Aceh tidak toleransi; Aceh tidak terbuka dengan hal-hal modern; Aceh tidak memberi kebebasan kepada orang-orang yang memiliki pandangan serta pemikiran yang berbeda. Sedangkan yang sejalan dengan prinsip Aceh, mereka sudah mulai mengerti bahwa ketentuan serta peraturan yang ada di daerah tersebut merupakan hal yang lumrah karena memang Aceh sudah menerapkan syariat Islam.
Orang-orang yang belum mengetahui Aceh dari dalam, pasti kebanyakan memiliki pandangan-pandangan yang negatif. Hal itu mungkin bisa saja didasari oleh konflik Aceh dan Indonesia yang terjadi di masa lalu yang menganggap daerah ini suka berperang dan juga kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. Padahal tidak demikian. Ada juga orang-orang yang menanggapi Aceh demikian, mungkin karena mereka belum terlalu mengenal syariat Islam, atau bahkan memang sama sekali tidak menyukainya. Itu hanya mereka yang tahu.
Baru-baru ini, Aceh dihebohkan dengan sekelompok orang bersepeda berkeliling kota Banda Aceh. Yang menjadi viralnya adalah, orang-orang tersebut adalah para wanita bersepeda tidak mengenakan jilbab serta menggunakan pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh. Sejauh pengetahuan penulis, dari foto yang tertera hanya satu wanita yang memakai jilbab. Bahkan juga ada seorang laki-laki di antara wanita-wanita tersebut. Mereka bersepeda, berkeliling, berfoto tanpa berpikir panjang sebelumnya bahwa akan ada terjadi sesuatu setelahnya.
Benar saja, foto mereka viral seketika dan bahkan masuk ke dalam akun-akun sosial media Aceh. Beragam komentar akhirnya silih berdatangan. Banyaknya pengguna sosial media terutama di Instagram, mengecam perbuatan orang-orang bersepeda tersebut. Dari kecaman halus hingga kasar sudah cukup menjelaskan bahwa banyak masyarakat Aceh terutama Banda Aceh menyayangkan perbuatan mereka ketika bersepeda.
Bahkan Walikota Banda Aceh, tak lama setelah foto-foto tersebut tersebar luas di sosial media diikuti dengan kecaman masyarakat, beliau langsung meminta pihak Satpol PP serta Polisi Syariah (WH) untuk menangkap para wanita dan laki-laki yang bersepeda tersebut.
Setelah diamankan oleh pihak berwenang, mereka akhirnya meminta maaf, diberi bimbingan serta setiap individu membuat pernyataan bahwa tidak akan melakukan dan mengulangi lagi perbuatan tersebut. Dan setelah itu masalah selesai tapi hanya bagi mereka saja. Sebenarnya, setelah kejadian tersebut, ada sebuah permasalahan muncul terhadap Aceh, khsususnya Banda Aceh. Apa permasalahannya? Dengan beredarnya berita serta foto-foto mereka saat bersepeda, itu sudah cukup mencoreng wajah Aceh yang selama ini menerapkan syariat Islam. Sudah cukup membuat malu Aceh akan pandangan orang-orang dari daerah luar sana. Karena, setelah foto-foto mereka beredar di akun-akun sosial media Aceh, dengan cepat kemudian tersebar ke sebagian besar sosial media dari daerah luar Aceh.
Dan ini sungguh sebuah masalah yang besar karena orang-orang lain sudah memiliki pandangan negatif terhadap Aceh bahkan sampai merendahkan provinsi ini. Dari amatan penulis di Twitter, banyak pengguna dari luar yang mana mereka bukan orang Aceh, belum pernah ke Aceh, dan tidak banyak tahu tentang Aceh, dengan mudahnya melontarkan pernyataan buruk yang memalukan Aceh terhadap daerah-daerah lainnya. Bahkan ada satu akun di Twitter yang tidak perlu penulis sebutkan namanya, dengan santai membandingkan antara sukunya dan Aceh. Padahal selama ini kita tahu, di Indonesia, satu suku; apabila dijelek-jelekkan oleh suku lain pasti akan menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat, hingga akhirnya konflik pun dimulai dengan saling membenci antar suku. Kita semua tahu persoalan agama, suku, etnis hingga budaya, itu merupakan hal-hal sensitif jika disinggung dengan keburukan. Tapi lihatlah sekarang apa yang terjadi setelah segelintir orang bersepeda ria dengan pakaian yang tidak layak di tempat yang bersyariat Islam. Dan lagi, terlihat bahwa konflik telah terjadi walaupun melalui sosial media, banyak pengguna Twitter lainnya merespon akun yang mengumbar pernyataan sensitif tersebut dengan amarah. Walaupun setelahnya pemilik akun tersebut meminta maaf atas pernyataannya itu.
Salah satu pengguna Twitter lainnya juga menciut sebuah pernyataan yang menjelekkan citra Aceh. Pengguna akun tersebut menganggap bahwa Aceh tidak becus dalam menerapkan peraturan serta menganggap Aceh ini tidak memberikan kebebasan terhadap warganya terutama para wanita. Padahal, apa-apa yang dilontarkan oleh pemilik akun tersebut tidak benar adanya. Seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya, daerah ini menerapkan peraturan serta ketentuan yang berdasarkan syariat Islam. Maka, apabila ada segelintir orang yang melakukan perbuatan berlawanan dengan ketentuan yang ada, pasti sekurang-kurangnya mendapat teguran dan dibimbing agar tidak melakukan hal tersebut lagi. Sedangkan terkait terbatasnya kebebasan wanita hidup di Aceh juga tidak benar. Sebab, terhitung sejak damainya Aceh dari konflik yang telah bertahun-tahun melanda daerah ini, kehidupan di Aceh sudah kembali normal. Dan ini terlihat jelas di mana saat jam malam tiba, masih ada orang beraktivitas seperti berjualan, mendengar kajian agama, serta duduk bersama kerabat sambil meneguk secangkir kopi. Tidak hanya bagi laki-laki tapi juga para wanita, sekarang sudah menjadi lebih aman dan bebas, tentu dengan tidak melanggar peraturan yang ada. Bayangkan di masa lalu, saat sebelum maghrib, orang-orang pasti berusaha untuk sudah berada di rumah karena takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Berbicara tentang kebebasan, kita tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja sesuai dengan keinginan pribadi. Kebebasan di Aceh itu jelas baik laki-laki maupun perempuan, belajar, ngopi bersama, liburan serta berolahraga bersama, hingga kegiatan positif lainnya tidak akan menjadi sebuah permasalahan asalkan tetap mematuhi aturan-aturan yang ada seperti memakai pakaian yang layak menutupi aurat, tidak bermaksiat, atau hal-hal lainnya.
Yang perlu diingat adalah, Aceh ini menerapkan syariat Islam. Maka peraturan yang dibentuk pun berbeda dari daerah lainnya. Lagipula, setiap daerah itu memiliki peraturan serta ketentuan yang berbeda-beda. Tugas bagi masyarakat adalah, menghargai setiap peraturan di berbagai daerah yang ada. Orang Aceh menghargai peraturan daerah-daerah lainnya begitupun sebaliknya. Tidak perlu kemudian kita membuat pernyataan yang berbau sensitif hingga memunculkan amarah dari kalangan masyarakat. Dan itulah yang menjadi permasalahan di Indonesia saat ini, di mana segelintir orang menebarkan keburukan ke suatu daerah hingga terjadinya perpecahan. Padahal, impian semua warga Indonesia itu terlontar jelas bahwa kita ingin hidup makmur tanpa ada perpecahan dengan saling menjaga satu sama lainnya. Tapi yang terjadi saat ini malah jauh dari ekspektasi yang ada.
Penulis sangat menyayangkan apa yang telah dilakukan oleh sebuah oknum di Banda Aceh baru-baru ini, karena sebenarnya setelah mereka melakukan perbuatan mereka itu, awal permasalahan baru muncul yang mengatasnamakan Aceh. Tapi lagi dan lagi penulis berharap agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi karena yang kena imbasnya itu seluruh masyarakat Aceh yang sehari-hari melakukan pekerjaan dan kegiatan mereka dengan tidak melanggar aturan yang ada. Memang benar adanya bahwa sebuah daerah itu akan dicap buruk akibat ulah segelintir orang yang tidak berpikir panjang akan perbuatannya itu.
Penulis berharap agar kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi. Ada baiknya sebelum melakukan sesuatu, kita harus memikir panjang ke depan apa efek yang akan terjadi terhadap perbuatan kita itu. Apalagi jika kita mengabadikannya di sosial media, pasti akan dengan cepat tersebar dan orang-orang akan menilai bahwa Aceh ini tidak ada kebebasan atau hal negatif lainnya padahal itu tidak benar. Jangan sampai pernyataan-pernyataan buruk terlontar dari orang lain akibat perbuatan tak bertanggungjawab kita. Apalagi pernyataan tersebut datang dari seorang publik figur, yang mana pasti tulisan atau omongannya akan dilihat dan didengar oleh banyak orang yang mana sebenarnya itu berlawanan dari yang sebenarnya.
Mari kita menjaga nama baik Aceh karena negeri ini milik kita di mana kita lahir dan dibesarkan di sini. Jagalah nilai-nilai yang ada, jangan sampai tercoreng oleh orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang Aceh. Jadilah warga pemikir walaupun belum sebijak atau sepintar para ustadz dan ulama. Setidaknya kita mau berpikir sebelum bertindak. Mulailah mencintai daerah kita ini, Aceh; yang sudah semakin menua.
Aceh Besar, 9 Juli 2020