1809

“Merebut Kembali Kuta Raya”

Reza Fahlevi
10 min readDec 22, 2020

Foto oleh: Reza Fahlevi

“Jadi... rencananya begini. Kita serang mereka tepat setelah shalat subuh. Kita mulai perjalanan nanti malam, lalu sampai di kampung Haruni, kita istirahat sambil nunggu waktu subuh tiba. Dari kampung itu udah gak jauh lagi perjalanan kita ke Kuta Raya.”

Semua orang senantiasa mendengar Hamzah yang sudah beberapa tahun ini dipercaya sebagai kapten dalam hal memerangi serdadu Jeuheut. Sejak kematian Abrar selaku kapten sebelumnya yang wafat dalam pertempuran melawan tentara penjajah tersebut, Hamzah adalah sosok yang tepat untuk mengisi kekosongan itu.

Hery juga berada di sana, kini ia telah lebih siap untuk kembali ke medan perang sejak kematian kedua anaknya. Walaupun hingga kini Bunaiya, putranya masih juga belum diketahui jasadnya.

"Kita harus tetap waspada karna yang pertama mereka punya tiga pos yang masing-masing dijaga oleh tentara yang cukup terlatih. Mereka siaga siang dan malam. Yang kedua adalah senjata yang kita miliki tidak secanggih mereka. Oleh karena itu, saling bekerja samalah, Insya Allah, besok setelah subuh kemenangan jadi milik kita." Lanjut Hamzah.

"Jika kita bisa membungkam para penjaga di tiap pos tentara Jeuheut, Insya Allah seterusnya akan mudah bagi kita." Kata salah seorang lelaki bernama Putra.

"Setujuuu..." Sahut semua orang dalam rapat tersebut.

Tak lama setelah itu, adzan maghrib pun tiba dan semuanya serentak bangkit, menyudahi rapat ini dan melaksanakan shalat berjama'ah. Hamzah kembali dipercaya untuk memimpin shalat. Ia adalah orang yang paling disegani di kalangan mereka. Terkenal tenang dalam mengambil keputusan, tidak gentar ketika dikepung oleh musuh, juga lihai dalam hal menembak musuh dari jarak jauh.

Selain Hamzah ada beberapa orang lagi yang begitu disegani sebab keberanian mereka melawan penjajah. Putra misalnya, ia pintar dalam hal membuat jebakan terhadap musuh. Memancing musuh keluar dari tempat persembunyian untuk kemudian melancarkan serangan habis-habisan kepada mereka. Ada juga Dzulkarnain, lelaki bertubuh tegap yang tak kenal menyerah. Sedangkan Hery, si ahli dalam mengatur strategi perang serta pintar membaca kelemahan pihak musuh hanya dalam waktu singkat.

Sejak awal Tentara Jeuheut menapakkan kaki di Banda Jivah, sudah begitu banyak pejuang hadir melawan tamu tak diundang tersebut. Banyak pula yang kemudian syahid di medan perang. Namun seiring berjalannya waktu, Banda Jivah seolah tak pernah habis melahirkan pejuang-pejuang baru dari sosok laki-laki maupun wanita.

Pasukan sudah bersiap. Mereka mempersiapkan semuanya mulai dari senjata hingga bekal dan akan memulai perjalanan dari mushalla menuju Kuta Raya. Jaraknya lumayan jauh dari kampung mereka Salam Seulamat, walaupun masih dalam satu naugan yang sama yaitu Banda Jivah. Wajar saja sebab negeri kerajaan tersebut memang begitu luas. Dari begitu banyak kampung yang tersebar di Banda Jivah, Kuta Raya merupakan ibukotanya. Namun kini daerah pusat tersebut sedang dalam ancaman setelah serdadu Jeuheut berhasil mendirikan markas mereka di sana.

Oleh sebab itu, Sultan Tuan Alam Muda, selaku raja Banda Jivah, menyurati beberapa pemimpin di setiap kampung untuk menyatukan pasukan dan menyerang Tentara Jeuheut. Dan Salam Seulamat merupakan salah satu kampung yang dimintai kesanggupannya untuk memborbardir para penjajah tersebut.

Dari Salam Seulamat, Hery, Hamzah dan semua pasukan telah memulai perjalanan mereka. Langkah mereka dihiasi oleh tangisan para istri yang harus berpisah dengan suaminya, bagi yang sudah menikah. Berat memang sebab mereka belumlah tentu akan kembali dengan selamat dari Kuta Raya. Tapi itulah pilihannya. Semua sudah dibulatkan jauh-jauh hari.

Pukul tiga dini hari, sesuai kesepakatan bersama, mereka terlebih dahulu singgah di kampung Haruni untuk beristirahat sejenak hingga waktu subuh nanti. Tiba di kampung tersebut, beberapa pasukan langsung membaringkan tubuh mereka yang kelelahan selama perjalanan. Maklum saja, mereka melalui Salam Seulamat dengan hanya berjalan kaki. Sedangkan Hery, Hamzah dan beberapa yang lainnya menyempatkan diri untuk shalat Tahajjud sambil memohon kepada Tuhan agar peperangan ini dapat dimenangkan. Di kampung Haruni mereka juga bertemu dengan pasukan lainnya yang berasal dari daerah yang berbeda. Walaupun asal mereka tak sama, tapi tujuan mereka tetap satu.

Waktu terus berjalan hingga tibalah Subuh. Setelah melaksanakan shalat bersama, mereka sudah bersiap menuju ke Kuta Raja. Kini para pasukan paham bahwa di sana mungkin bisa saja hidup mereka menjadi yang terakhir. Walaupun demikian, mereka tak gentar sama sekali. Bagi mereka mempertahankan negeri dari para penjajah merupakan aksi bela yang memang harus diperjuangkan. Jika pun nanti mati, tetap dipercayai dalam hati bahwa mereka mati dengan niat tulus untuk berperang melawan ketidakadilan. Maka tak ada kekalahan yang mereka kenal, yang ada hanyalah perjuangan akan terus dilanjutkan oleh generasi selanjutnya hingga kemenangan itu benar-benar berada dalam genggaman.

Pasukan telah tiba lebih awal di Kuta Raya. Hamzah langsung memberi instruksi kepada yang lainnya agar menyerang sesuai dengan rencana yang telah disusun. Hery serta Dzulkarnain lebih dulu menyusup ke pos jaga tentara Jeuheut. Langkah mereka sunyi namun tetap dalam hitungan cepat. Tepat di balik sebuah pohon besar, mereka bersembunyi sambil melihat ke sekitar. Sedangkan pasukan lainnya menunggu aba-aba dari Hery dan Dzulkarnain untuk memulai serangan.

"Orang itu akan terlebih dahulu ku habisi, kau tunggu di sini sambil melindungiku, oke..." Ujar Dzulkarnain.

Hery mengangguk seraya mengokang senjata miliknya. Temannya ini pun langsung berjalan dan tepat lima detik kemudian ia sudah lebih dekat dengan seorang tentara penjaga tersebut. Tanpa berpikir panjang ia langsung menikam tentara tersebut dari belakang menggunakan bilah kecil. Namun, tentara tersebut masih dapat melawan walaupun ia tahu kini posisinya telah tersudutkan. Tapi ia tak hilang akal, tanpa disangka tentara tersebut meminta tolong sambil menjerit. Tapi itu adalah usaha terakhirnya sebelum akhirnya Dzulkarnain mematahkan lehernya. Ia pun mati seketika.

Dzulkarnain tahu kini posisinya sudah tak aman lagi. Ia melirik-lirik Hery sebagai tanda bahwa kini tentara yang lainnya sudah mulai bersiap datang kepada dirinya. Hery paham, dari jarak yang lumayan jauh dari sana, ia mulai membidik musuh satu persatu. Beberapa detik berselang...

Dooorrrr dooorrrr dooorrrr....

Ia berhasil menembak dua serdadu Jeuheut. Bersamaan dengan itu pula Hery memberi isyarat kepada Hamzah agar mengerahkan pasukan dan mulai menyerang habis-habisan.

"Semuaaa... Majuuu..." Teriak Hamzah.

Mereka pun berlari dengan semangat membara. Takbir senantiasa mewarnai langkah mereka.

"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar..."

Letusan timah panas pun tak terelakkan lagi. Banyak dari serdadu Jeuheut yang kuwalahan menghadapi pasukan Salam Seulamat. Sedangkan dari sisi barat, Pasukan Blang Rayeuk turut melancarkan aksi. Di sebelah timur ada pejuang dari Kampung Ateuh Cot. Mereka kompak, bersatu, saling membahu demi harga diri. Berbagai jenis senjata digunakan mulai dari tombak, pedang, rencong, panah bahkan senjata modern pun ikut serta. Dominannya adalah tombak serta panah. Sebenarnya ada satu jenis senjata hebat lainnya, yaitu meriam. Namun senjata itu terlalu sulit untuk dibawa dalam jarak yang lumayan jauh ini. Maka mereka hanya membawa yang diperlukan saja.

Para pasukan Banda Jivah ini cerdik, mereka merampas senjata milik serdadu Jeuheut yang telah tewas untuk menambah amunisi baru. Bahkan meriam yang dimiliki oleh warga Salam Seulamat adalah berkat keberhasilan mereka mengalahkan pasukan penjajah tersebut.

Kembali ke medan perang, Hamzah bertempur dengan gagah berani. Ia menyimpan terlebih dahulu senapannya itu dan bertarung menggunakan panah. Kelihaiannya tak perlu dipertanyakan lagi. Matanya bak seekor elang yang memburu mangsa. Begitulah ia membidik musuh. Satu persatu serdadu tersebut tertancap anak panah milik lelaki tersebut.

Sedangkan Putra berada di posisi paling belakang dari pasukan lainnya. Ia sedang mempersiapkan beberapa ranjau berupa granat yang ia tanamkan di dalam tanah. Ranjau itu akan meledak seketika apabila terinjak. Saat sedang sibuk dengan pekerjaannya, seorang musuh mencoba peruntungan dengan memukulinya menggunakan senapan.

Baaamm...

Putra tersungkur ke tanah, namun dengan segera ia bangkit dan memalingkan tubuhnya ke hadapan musuh. Sekali lagi, serdadu itu menghantamnya di dagu lelaki muda tersebut. Langkahnya terdesak mundur. Pandangan matanya pun mulai mengabur. Putra mulai oleng dan ini merupakan kesempatan besar bagi tentara itu untuk menembakinya. Dan...

Doorrr doorrr...

Putra tertembak. Peluru itu mendarat tepat di dadanya. Tak ada lagi daya, lelaki itu meninggal dunia seketika. Tapi tak lama kemudian satu anak panah menyasar dan mengenai leher serdadu tersebut yang langsung membuatnya tersungkur. Berselang beberapa detik kemudian terdengar jeritan dari salah satu pasukan Salam Seulamat.

"Putra tewas... Putra sudah syahiiid..."

Hamzah tersentak. Ia lalu berteriak,

"Rapatkan barisan pertahanan."

Para tentara Jeuheut mempersiapkan tiga meriam sekaligus. Di bawah aba-aba langsung dari Jendral Holler, dentuman raksasa mewarnai langit fajar. Ledakannya meluluh lantakkan sebagian pasukan Banda Jivah.

"Berlinduuuungg..." Ujar Hamzah.

"Munduuurr, semua mundur ke barisan pertahanan." Sambung Dzulkarnain

Duaaaarrr...

Meriam kedua disasarkan oleh pasukan Jeuheut. Sedangkan pejuang Banda Jivah memilih mundur untuk sementara. Bersembunyi di manapun yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Desakan kian terasa begitu berat dengan hujanan peluru yang tanpa henti dilancarkan oleh pihak musuh. Hampir setengah pasukan Banda jivah kehilangan nyawa. Bahkan, serangan meriam yang ketiga menghancurkan sebuah masjid bernama Ar-Rahman. Masjid tersebut merupakan kebanggaan milik warga negeri ini. Kini hancur luluh lantak.

Di posisi Hery, ia terus berusaha menyusup menuju ke pos milik pasukan Jeuheut. Hadangan musuh satu demi satu ia taklukkan menggunakan rencong. Lelaki ini berlari kencang hingga akhirnya ia pun terdesak dan terpaksa menggunakan senapannya untuk menyerang.

Tiga tentara Jeuheut berhasil dikalahkan. Tujuannya jelas, ia ingin menembak tentara yang berada di di dekat meriam. Dengan membunuh mereka, itu akan meringankan sedikit serangan dari musuh. Namun kini pelurunya hanya tinggal satu saja. Ia harus menyimpannya untuk orang yang benar-benar harus disasarkan.

Dari kejauhan Hamzah memperhatikan gerak-gerik sahabatnya ini. Dalam lima detik ia paham apa tujuan dari Hery. Maka lelaki ini pun memberikan aba-aba kepada pasukan yang berada di dekatnya.

"Semua dengar, begitu Hery sudah dekat dengan meriam itu, kita keluar dan langsung lancarkan serangan. Bertubu-tubi... kali ini kita harus lebih yakin dari awal."

Semua mengangguk. Dari balik reruntuhan bangunan, Hamzah dan pasukan lainnya bersiap. Matanya tanpa pernah berhenti terus menerus difokuskan pada Hery di sebelah sana. Sedangkan pasukan dari kampung Cot Ateuh masih senantiasa melancarkan perlawanan. Padahal kini mereka sudah sangat sedikit. Tapi semangat juang mereka patut diacungi jempol. Sama sekali tak gentar walaupun kini mereka benar-benar telah berada di ujung tanduk.

Sementara Hery terus berlalu. Yang hebatnya adalah, kini tak ada satu pun yang menyadari bahwa ia sudah semakin dekat dengan markas pasukan Jeuheut. Tapi ia pun bingung harus melakukan apa. Tak mungkin menyerang mereka dengan hanya menggunakan rencong, sedangkan pelurunya hanya tersisa satu. Ia pun menahan diri sejenak di sana. Mencoba menenangkan pikirannya.

Di pihak musuh, saat mereka menyerang membabi buta terhadap pasukan Cot Ateuh, tiba-tiba ranjau-ranjau yang sempat ditanam oleh putra di beberapa titik meledak dan menewaskan banyak serdadu Jeuheut. Kejadian itu berhasil mempengaruhi laju musuh hingga mereka juga akhirnya memilih untuk mundur dan bersembunyi. Tapi ini adalah kesempatan besar bagi pasukan Banda Jivah untuk melakukan serangan balik. Hamzah dengan lantang memimpin bala tentaranya. Hujanan peluru dan anak panah tak terelakkan. Dan ini sudah cukup menyudutkan pihak musuh yang kini malah ketar-katir.

Bersama beberapa pejuang lainnya, Hamzah mulai membantu Hery. Kini bala bantuan datang kepadanya dan ia pun paham, sekarang waktunya untuk melancarkan peluru terakhir dari senapannya. Hery tahu ke mana ia sasarkan timah panas itu. Beriringan dengan suara kokangan senapannya, ia bidik seorang musuh dari jarak yang lumayan jauh...

Dooorrr...

Dari sebuah pos meriam ketiga, Jendral Holler terkena tembakan senapan Herry. Para serdadu Jeuheut terkejut melihat kejadian itu. Sedangkan Hery langsung berlari melindungi dirinya. Tak lama setelah itu serangan dari Hamzah dan beberapa orang lainnya sukses melindungi Hery dari sasaran para serdadu Jeuheut. Tersisa dua pos meriam lagi dan itu pun juga berhasil ditaklukkan oleh pasukan kampung Blang Rayeuk. Para musuh terpaksa melarikan diri dari pos meriam tersebut dan pasukan Banda Jivah langsung mengambil alih menggantikan serdadu Jeuheut.

"Bidikkan sasaran ke arah musuh." Ujar seorang pemimpin dari pasukan Blang Rayeuk.

Dentuman meriam pun kini malah memburu tentara Jeuheut. Mereka kian terdesak setelah Hery membunuh Jendral Holler.

Duaaarrr duarrr duarrrr...

Suaranya hingga getarannya begitu dahsyat. Para pejuang Banda Jivah telah berada di atas angin. Teriakan takbir pun kembali menggema, lebih keras dari sebelumnya.

"Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar"

Bersamaan dengan itu pula akhirnya pihak musuh memilih untuk menyerah. Tak ada pilihan lain di saat kondisi mereka kian tersudut. Satu persatu dari mereka menjatuhkan senjata ke tanah, sebagian malah kabur menggunakan mobil patroli mereka. Pertanda tak kuasa lagi untuk melawan, juga mungkin ada rasa takut dari mereka untuk mati.

Dan tak lama setelah itu, tembakan pun berhenti. Hamzah meletakkan busur panahnya ke tanah. Ia melihat ke sekitar dan menyadari kini musuh benar-benar telah menyerah. Ia pun takbir,

"Allahu Akbar..."

Semua orang di medan perang menyahutnya untuk bertakbir pula. Sedangkan Hery seolah tak percaya, mereka telah memenangkan pertempuran ini sekaligus mengusir para penjajah dari Kuta Raya. Ia terduduk bersandar di sisa-sisa reruntuhan bangunan. Menengadahkan tangannya ke atas dengan air mata yang berlinang.

"Ya Allah, Engkau telah membawa kami kepada kemenangan. Alhamdulillah..."

Dzulkarnain datang menghampiri Hery. Mereka saling berpelukan, menangis haru atas letihnya perjuangan mereka di medan perang, melawan rasa takut, berlindung agar senantiasa selamat dari serangan musuh.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Dzulkarnain.

Hery mengangguk. Ia masih menangis.

"Usahamu tadi luar biasa. Berkatmu kita semua bisa melakukan serangan balik. Tak ku sangka secepat itu kau bertindak dengan membunuh jendral mereka."

"Aku hanya ingin berperang dan mencoba melindungi orang lain sebisaku. Selebihnya itu semua karna Allah." Ujar Hery.

Kemenangan ini terasa begitu berarti bagi warga Banda Jivah. Ini memperlihatkan betapa gagahnya para pejuang negeri kerajaan tersebut. Walaupun kemenangan ini harus dibayar mahal dengan banyaknya pasukan Banda Jivah yang meninggal termasuk salah satunya Putra, lelaki pemberani yang harus kembali kepada Tuhan di usia yang masih sangat muda. Selain itu, hancurnya masjid Ar-Rahman juga menyisakan kesedihan yang mendalam sebab masjid tersebut adalah simbol bagi warga Banda Jivah.

Setelah kembali dari medan perang, pasukan Salam Seulamat disambut meriah oleh masyarakat setempat. Para istri, anak, serta orang tua sudah begitu ingin menjumpai pahalawan mereka. Hery langsung menemui istrinya, Halwa. Mereka berpelukan, lama. Begitu khawatirnya sang istri terhadap suaminya ini. Hamzah dan Dzulkarnain juga demikian, rasa haru tak bisa disembunyikan ketika bertemu dengan keluarga masing-masing.

Sedangkan ibu Putra tak bisa menahan luapan tangisannya ketika mendapati anak laki-lakinya itu telah meninggal dunia. Wanita itu adalah satu dari beberapa orang lainnya yang harus ditinggal oleh anak ataupun suami mereka yang gugur di medan perang.

Sorenya, pejuang serta warga Salam Seulamat lainnya mengebumikan pahlawan-pahalawan yang gugur. Mereka pantas dianggap demikian karena keberanian mereka dalam menghadapi musuh, tak gentar dan tak takut. Semua hanya demi harga diri tanah kelahiran, untuk mengusir penjajah Jeuheut dari Banda Jivah. Walaupun Kuta Raya telah terbebas dari serdadu Jeuheut, namun mereka masih ada di beberapa daerah lainnya. Dan mungkin saja, perang selanjutnya akan kembali pecah.

Esoknya, Sultan Tuan Alam Muda, mendapat kabar bahwasanya para petinggi dari kalangan Jeuheut ingin membangun ulang masjid Ar-Rahman yang hancur akibat serangan meriam. Kabar ini diterima dengan hangat oleh sultan dengan satu catatan bahwa apapun yang telah dilakukan oleh pihak serdadu tersebut, takkan pernah dimaafkan oleh sultan. Bahkan kematian Jendral Holler adalah bukti bagaimana rakyat Banda Jivah bersatu menghadapi penjajahan ini.

Sultan memiliki alasan tersendiri terhadap hal ini sebab ia tahu, pasti pihak Jeuheut juga tidak akan menerima kematian Jendral terhormat mereka. Tapi, masjid Ar-Rahman adalah sebuah identitas dan simbol. Pihak Jeuheut harus tetap mengganti rugi akan hancurnya rumah ibadah tersebut.

Kisah ini terinspirasi dari perlawanan rakyat Aceh terhadap pasukan Belanda yang telah membakar masjid Raya Baiturrahman yang merupakan simbol bagi orang Aceh.

-Reza Fahlevi-

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet