02:25
SMA FANSURI
“Seperti katamu, mereka berjumlah 5 lima orang.” Ujar temanku, Zaki.
Aku berada di depannya sembari bersembunyi di balik tembok. Sekarang pukul 02.25 dini hari, gerimis terus melanda dari tadi magrib tanpa henti.
“Itu…” Zaki kembali bergumam.
Aku lantas segera menyela, “ssssttt… kecilkan suaramu, nanti mereka bisa tahu.”
Masih di balik tembok, kami terus memantau situasi. Seperti perkataan Zaki, ada sekitar lima orang mencurigakan sedang berdiri di depan ruangan guru. Aku penasaran karena dari gelagat mereka, ku lihat semua seperti sedang mendiskusikan sesuatu. Lagipula, untuk apa mereka berada di sekolah tengah malam begini. Adapun aku tahu, orang-orang itu bukan satpam sebab di sekolah ini hanya ada dua petugas.
“Zaki…” kataku sambil menatap ke lima oranv mencurigakan itu, “ini hanya asumsi saja tapi aku ingin kau dengar dengan seksama.”
“Apa yang ingin kau bilang?” Tanyanya.
“Perhatikan orang yang sedang berbicara itu, lihat baik-baik di pinggang sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia sembunyikan — kelihatan jelas dari balik kaosnya bahwa ia menyimpan sesuatu. Dan aku berpikir bahwa itu senjata… mungkin bisa saja pisau atau sejenisnya.”
“Mana?” Zaki malah berdiri di sampingku. “Aku tak bisa melihatnya dari sini.”
“Sudah ku bilang… perhatikan baik-baik.”
“Sudah ku bilang aku tak bisa melihatnya… terlalu jauh. Lantas apa yang membuatmu bisa melihat sejelas itu?”
“Sudah ku bilang, kan…” kataku, “ini hanya asumsi saja. Tapi, aku tak pernah meremehkan firasat ini.”
“Aku tak paham maksudmu tapi… oke… kau beranggapan pria itu memiliki senjata. Lalu, apa tindakan kita? Bukannya itu menandakan bahwa semua orang itu berbahaya? Lebih baik kita pulang saja.”
“Aku setuju dengan pendapatmu, tapi entah kenapa aku malah semakin penasaran. Dan jika tak ku turuti, aku tak bisa tenang.”
“Terus… kita harus apa?” Zaki bertanya.
Adapun aku malah terdiam sejenak karena sedang memikirkan sesuatu. Dalam momen ini, aku melihat seekor katak berjalan perlahan-lahan melewati kami berdua. Binatang itu menggerakkan kaki dan tangannya dengan sangat hati-hati… sesekali berhenti sejenak lalu berjalan lagi. Ada beberapa kali katak ini melakukan hal serupa sampai untuk kesekian kalinya, hewan tersebut melompat jauh dan memangsa jangkrik.
Adegan katak itu seakan membuka pikiranku dan dengan segera menjawab pertanyaan Zaki tadi.
“Yang harus kita lakukan adalah menyelinap diam-diam lalu menyergap mereka di waktu yang tepat.” Jelasku.
“Kita sudah seperti bermain polisi-polisian.”
“Ini lebih dari sekedar bermain — ada beberapa orang yang harus kita tangkap sungguhan.”
“Tapi…” sahut Zaki lagi. “Bagaimana jika mereka bukan orang jahat? Atau… kita bisa saja beranggapan mereka jahat tapi bagaimana jika rencana yang kau utarakan tadi gagal?”
Pertanyaannya kembali membuatku membatu. Dalam hati aku beranggapan bahwa ada benarnya juga apa yang ditanyai oleh Zaki. Tiba-tiba aku menjadi bingung sendiri.
Di momen ini, aku melirik ke sekitar halaman sekolah lalu menatap setiap ruangan belajar satu persatu. SMA Fansuri memiliki total 27 kelas. Dari angka itu, ada empat kelas yang dijadikan 2 lantai masing-masing dua di bawah dan sisanya di atas, letaknya ada di arah jam 3. Selebihnya, semua kelas hanya berupa satu lantai dan saling berjejer.
Lalu, di seberang ruangan belajar terdapat kantor guru, tepatnya di hadapan kelas X.2. Adapun kelima orang yang mencurigakan itu berdiri depan pintu ruangan guru.
Di sisi lain, aku dan Zaki sedang bersembunyi di balik tembok; jarak kami lumayan jauh dari ruangan guru meski hanya beberapa meter saja dari ruang belajar XI IPA 1. Meski demikian, jika kami berjalan lurus ke depan, maka kami akan langsung berjumpa dengan lima orang itu sebab lorong yang kami lewati memang tersambung ke sana.
Jika berjalan ke arah sebaliknya, maka kami harus melewati belakang kelas XI IPS 4 sampai ke kelas X.2. Tapi terlalu beresiko untuk ke sana sebab menurutku keberadaan kami mudah disadari oleh orang-orang itu.
Satu-satunya solusi adalah mengalihkan pandangan dan cara terbaik yang mungkin punya resiko lebih sedikit adalah menuju ke ruang belajar berlantai dua, posisinya di sudut belakang dan lumayan jauh dari ruang guru.
Hmmm… sepertinya sekarang aku punya ide.
“Hei Zaki, seberapa besar nyalimu jika harus berjalan sendirian?” Tanyaku sambil menatapnya.
“Aku pernah terjebak di salah satu rumah terangker di Cot Jambee. Apa kau masih meragukan nyaliku?”
“Sepertinya itu sudah cukup. Kalau begitu dengarkan aku, kita harus berpencar. Kau ke kelas X.9 dan aku akan berada di belakang lokal X.2.”
“Kau punya rencana?”
Aku mengangguk dan menjawab, “ begitu kau sampai di kelas X.9, pancing mereka sebisamu. Jika mereka menyadari adanya keanehan, dugaan pertamanya adalah; mereka akan lari. Kedua; mereka siap siaga. Dan ketiga; mereka akan menuju ke tempatmu. Ini dugaan jika mereka sekumpulan orang berbahaya.”
Ku lihat Zaki mengelus-elus dagu sejenak lalu berkomentar, “hmmm… andai kata mereka itu orang berbahaya, berarti sikap yang seperti kau bilang itu yang akan terlihat? Oke aku mengerti. Tapi, bagaimana perandaian jika mereka bukan sosok yang berbahaya?”
“Tidak ada…” sahutku singkat.
“Haahh? Kenapa tidak ada?”
“Sederhana, karena firasatku berkata bahwa orang-orang itu memang berbahaya.”
“Firasatmu?”
“Ya… tak perlu ku ulangi lagi alasannya kenapa. Tadi kau sudah mendengarnya sendiri.”
“Hhmm baiklah. Tapi, bagaimana caranya aku mengalihkan perhatian mereka…?” Tanya Zaki.
“Kau bisa mencobanya dengan cara membuat keributan… entah itu menendang-nendang pintu atau apa lah…”
Zaki terlihat sedikit ragu dengan saranku dan sikapnya itu membuatku punya ide lain.
“Atau…” aku berkata seraya mengambil obeng dari dalam tas kecil yang ku lilitkan di pinggang, lalu memberikannya kepada Zaki dan melanjutkan, “congkel salah satu kelasnya, nayalakan lampu dan buat sedikit kegaduhan. Selebihnya, kita lihat bagaimana sikap mereka nanti.”
Setelah ku katakan itu, Zaki malah menatapku dengan penuh tanya. Gelagatnya itu membuatku malah melemparinya sebuah pertanyaan, “kenapa?”
“Sebelum kita ke sekolah, kau sempat bilang bahwa akhir-akhir ini kau sering datang ke sini sendirian malam-malam. Dan setelah mendengar semua rencanamu, aku mulai yakin bahwa kau memang melakukannya.
“Apa ada masalah?” Tanyaku.
“Tidak. Aku malah penasaran tentang dirimu itu. Kau sudah seperti detektif saja. Dan ku pikir kau memang punya keahlian untuk menjadi mata-mata.”
“Kita bisa membahasnya nanti. Sekarang, apa kau punya pertanyaan dari rencana yang sudah ku katakan tadi?”
Zaki menjawabku dengan gelengan, pertanda dia sudah paham apa yang ku jelaskan tadi. Memang, perawakan orang ini seperti itu, cepat tanggap. Meski demikian, dia sedikit ceroboh dan juga agak tergesa-gesa. Tapi, tidak terlalu menjadi masalah bagiku pribadi. Selama aku masih mampu menanganinya, maka semua akan baik-baik saja. Dan ku harap malam ini Zaki tidak mengacaukan semua rencana ini.
Tiga menit kemudian
Zaki pergi ke kelas X.9 adapun aku bergerak menuju ruang X.2. Ku pastikan tak ada suara sedikitpun dari setiap kakiku berjalan melangkah melewati lorong sekolah.
Begitu sampai, aku langsung bersembunyi di belakang kelas X.2 sambil menunggu Zaki tiba di ruang belajar X.9. Dari sini, aku terus memperhatikan gerak-gerik 5 orang yang mencurigakan itu. Sudah lebih 15 menit mereka berdiri di depan ruang guru. Adapun sosok yang ku curigai memiliki senjata tajam juga masih memperlihatkan gelagat dirinya sedang berbicara, empat temannya ku lihat senantiasa mendengarkannya. Barangkali, orang yang itu adalah ketuanya, terlihat dari gayanya yang mengayunkan tangan bahkan sampai menunjuk-nunjuk temannya dengan pembawaan yang angkuh.
Satu menit kemudian, aku mendengar suara keributan dari kelas X.9 atau di sekitarnya. Sepertinya Zaki sudah tiba di sana.
Sesuai dugaanku, ulah Zaki tersebut membuat ke 5 orang itu mulai waspada. Mereka semua melirik ke sekitar. Adapun aku menyembunyikan kepala lebih dalam di balik tembok kelas X.2 sambil mengintip ke arah mereka sebisaku. Lalu, di saat yang sama diriku menoleh ke ruang belajar berlantai 2; sekarang ada satu kelas di lantai atas yang mana lampunya menyala dan sesaat kemudian padam. Itu ulah Zaki yang sedang memancing.
Sesaat kemudian, ku alihkan lagi pandanganku ke arah orang-orang yang mencurigakan tadi.
“Gawat…” ujarku dalam hati.
Yang ku duga tadi tidak terjadi. Malahan mereka berpencar dan salah satu di antaranya menuju ke tempatku; dia adalah lelaki yang ku curigai memiliki senjata tajam.
Saat aku sedang bersiap-siap untuk meladeni lelaki itu, tanpa sengaja aku melihat ada orang asing berada di sekitar ruang belajar berlantai dua. Dan orang itu malah langsung naik ke atas.
Sialan, sejak kapan salah satu dari mereka berada di situ? Kenapa begitu cepat sampai di sana?
Adapun aku sendiri kemudian menoleh ke kanan dan hendak mencoba mengintip lagi. Begitu tepat di ambang tembok, aku lelaki yang ku curgia memiliki senjata tajam sudah berada di dekatku.
“Dasar tikus bajingan…!” celotehnya yang di waktu bersamaan ia meninju wajahku.
Pukulan lelaki itu seketika membuatku oleng meski masih mampu berdiri. Saat aku hendak meladeni perlawanannya, ia lantas menjambak rambutku dan menghantam hidung.
Aku hilang keseimbangan. Di momen ini, ku coba berjalan mundur untuk menjauhi lelaki itu. Akan tetapi, lagi-lagi dirinya menyerang, kali ini ia meninju perutku, membuatku seakan dipaksa merunduk. Dan ketika aku tertekuk, di waktu itu pula lelaki ini menendang wajahku hingga aku terhempas ke belakang.
Orang ini kembali menjambak rambutku dan bertanya, “apa yang kau lakukan di sini bocah?”
Lantas dengan berani aku menjawab, “pertanyaan itu juga ku tanyakan untukmu.”
“Kau mau cari mati ya?”
Sambil menjambak, ia lalu membantingkan tubuhku ke tembok sebanyak dua kali, kemudian menghujaniku dengan pukulan bertubi-tubu.
Serangan tangannya mengenai wajahku sekali dan dua kali di bahu. Adapun yang keempat, aku berhasil menangkisnya saat ia mencoba memukuli daguku.
“Berani melawan ya…” celotehnya.
“Kau pikir aku yang sudah sejauh ini membuntuti kalian akan kabur? Maaf saja, itu bukan kebiasaanku.”
Ini waktu yang tepat untuk memprovokasinya. Lagipula ku lihat ia sama sekali tak suka dengan sikapku dan sekarang sepertinya ia mulai kehabisan kesabaran.
“Kau akan menyesal sudah membuntuti kami. Asal kau tahu saja, aku tak segan-segan menikam atau bahkan membunuhmu.” Kata lelaki ini sambil mengambil pisau. Sesuai dugaanku, ia memang punya senjata.
Adapun pisau yang sudah dalam genggamannya ia arahkan lurus kepadaku.
“Aku tau kau takkan selamat, maka dari itu ku persilahkan kau untuk menjelaskan padaku tujuanmu membuntuti kami.” Gumamnya.
Tanpa pikir panjang aku lantas membeberkannya, “dugaan kasus korupsi dana anak yatim. Dan orang yang dicurigai sebagai tersangka adalah Ibu Hanim yang ditugaskan menjadi bendahara dari terkumpulnya dana itu. Tapi, sebenarnya dalang di balik ini semua adalah Pak Herman, wakil bendahara.”
Lelaki itu lantas tersenyum, “kau tahu banyak.”
“Jika aku sudah sampai sejauh ini, kau tak perlu meragukannya lagi. Apalagi tujuan kalian datang ke sini malam-malam adalah untuk merekayasa data. Kau ditugaskan Pak Herman untuk memanipulasi kebenaran agar Bu Hanim menjadi tersangkanya.”
“Keparat…” ia menunjukku dan melanjutkan, “kau bocah… akan ku ku bunuh.”
Setelah mengatakan itu, ia berlari dan menyerang. Serangan pertama datang dari kakinya yang hendak menendang perut bagian kananku. Akan tetapi, dengan cepat aku menangkisnya menggunakan tangan.
Adapun lelaki ini mencoba serang dari sisi lain, kali ini ia hendak menikam wajahku dengan pisau. Gerak cepat, ketika pisau itu hampir mengenai wajah, aku segera mengambil besi yang agak panjang yang ku sembunyikan di dalam jaket. Begitu benda ini dalam genggaman, langsung saja ku tangkis senjata tajam itu dan seketika patah.
Kejadian ini tak membuatku mengendurkan serangan malah sebaliknya… aku mencoba menyerangnya menggunakan besi. Ini kesempatan besar apalagi dia sudah tidak memegang senjata. Meski demikian, lelaki ini lumayan lihai, dari semua seranganku ia mampu menghindarinya dengan sangat bagus. Dari sini aku paham, dia bukan orang sembarangan atau aku yang masih seorang pemula.
Akan tetapi, aku terus mencoba setidaknya satu atau dua pukulan bisa mengenainya agar urusanku menjadi lebih mudah. Segala sisi ku ayunkan besi ini; ke wajah, bahu, dada, bahkan sampai ke pahanya… tapi tak satu pun kena. Dan saat aku hendak menghantam lengannya, dengan sigap ia menangkis sekaligus menangkap besi ini. Di waktu yang sama, ia malah berhasil merebutnya dariku.
“Ku akui kau memang cerdas, tapi kau tak cukup mahir untuk bertarung. Asal kau tahu saja, jika kau berani bermain di dalam ranah ini, hanya modal kecerdasan saja tak cukup. Kau harus bisa bertarung agar mampu melumpuhkan musuh. Dan sayang sekali, kau tidak terlalu beruntung.” Ujarnya.
Aku diam saja tanpa menyahut apapun untuk merespon perkataannya. Dalam hati, ku pikir ada benarnya juga apa yang dia ucapkan tadi. Aku yang suka mengintai harus mampu bela diri sebagai jaga-jaga jika musuh menyerang. Adapun yang ku alami pada malam ini malah sebaliknya; aku memang berhasil mencari tahu kebenaran di balik kasus korupsi dana anak yatim, tapi jujur saja kasus ini bisa berakhir sia-sia jika aku gagal menghentikan orang ini. Apalagi, aku tak terlalu pandai bertarung meski punya nyali besar. Kemampuan bertarungku kalah jauh jika dibandingkan dengannya.
“Karena…” lanjutnya sambil mengangkat besi untuk menyerangku, “aku akan membunuhmu sekarang…”
Begitu ia selesai mengancam, langsung saja dirinya melayangkan besi ke wajahku. Aku memang berhasil menghindar tapi sebagai gantinya benda padat itu malah mengenai bahuku.
“Aakkhhh…” Aku mengerang.
Dan di momen ini, si bandit tak menyia-nyiakan kesempatan, ia menyerangku bertubi-tubi — sasarannya selalu ke wajah meski sampai saat ini aku masih mampu menghindar. Akan tetapi, kedua tangan dan paha menjadi sasaran empuk untuknya. Terakhir, aku yang sudah kewalahan menahan laju serangannya tiba-tiba hilang fokus. Di momen ini, ia segera melangkah mendekatiku.
“Mati kau…!” teriaknya sembari melayangkan besi.
Besi yang ia ayunkan itu mengenai tepat sasaran di dadaku. Akibatnya, aku langsung ambruk dan mengerang kesakitan. Rasanya seperti tulang-tulangku patah… sakit sekali.
Akan tetapi, aku tetap berusaha menatapnya untuk menghindari pukulan selanjutnya. Sayang sekali, aku terlambat — dengan penuh rasa kesal ia menghabisiku yang sudah tergeletak. Hampir seluruh tubuhku menjadi bulan-bulanannya. Hal ini membuatku semakin tak berdaya dan berpikir sepertinya ia benar-benar akan membunuhku.
Di tengah hujanan serangan, tiba- tiba aku mendengar sesuatu, tidak yakin itu apa sebab sedari tadi aku hanya mampu memejamkan mata sambil kedua tangan melindungi kepala agar si lelaki itu tidak memukul bagian vital ini.
Dan sesaat mendengar sesuatu tadi, lelaki itu berhenti menyerangku. Aku yang sudah lemah bingung dan mencoba melihat situasi, tapi tak jelas sebab pandanganku samar-samar.
“Kau lawanku…” ujar seseorang. Aku tak tahu siapa, dari suara yang ku dengar, sepertinya ia sosok yang tegas tapi juga menakutkan.
Masih dalam posisi terbaring, aku mencoba melihat sebisanya dan ku dapati seorang lelaki memakai seragam serba hitam. Ia lantas maju mendekati bandit itu; mereka berdua pun bertarung.
Sekarang aku mulai duduk sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Ku perhatikan mereka bertarung; sosok lelaki berpakaian serba hitam itu sangat lihai, ia menggunakan pentungan untuk melawan sang bandit.
Adapun musuh sepertinya mulai terpojok; ia tak mampu melakukan serangan balik dan hanya bisa menahan setiap pukulan yang dilancarkan oleh si lelaki misterius itu. Sampai pada satu waktu, laki-laki berseragam hitam tersebut menghantam wajah sang berandal dengan sangat keras. Sangking kerasnya, ia terhempas dan ambruk seketika.
Ku perhatikan terus kejadian ini, si bandit terluka parah, banyak darah berhamburan keluar dari mulutnya. Kini, yang bisa ia lakukan hanya tergeletak tak berdaya, ia sama sekali tak mampu bangkit lagi.
Lalu, laki-laki berpakaian serba hitam tadi menoleh padaku, “jika kau ingin beraksi sendirian, bersembunyilah kemudian habisi musuh satu per satu secara diam-diam . Kau harus belajar sabar dan jangan terburu-buru karena iita tak pernah tahu kemampuan musuh sampai kita benar-bebar menghadapi mereka.”
“Aku sudah melakukannya…” sahutku.
“Ya, benar. Tapi kau masih ceroboh. Bukan kau saja, temanmu juga sama. Selain itu, jangan terlalu banyak memprovokasi lawan. Sesekali kau harus berlagak serius agar musuh merasakan ketakutan dari kehadiranmu. Jika kau ingin menjadi mata-mata, kau harus tenang, perhatikan situasi di sekitar dan buat perkiraan kapan waktu yang tepat untuk menyerang, bertahan, meladeni pembicaraan atau kabur.”
“Kabur…? Aku tidak sepengecut itu…” Celotehku.
“Kabur untuk mengalihkan perhatian dan kembali menyerang saat musuh dalam keadaan lengah. Belajar menjadi bayangan; ia terlihat hilang dalam kegelapan meski sebenarnya ia eksis di situ.”
Laki-laki ini mulai menceramahiku. Tapi, sesaat kemudian ia menjulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Ku pikir, dia orang yang baik. Lantas, ku raih tangannya dan ia pun menarikku.
“Anda…” aku hendak bertanya tapi ia langsung memotongnya.
“Kalian jangan lagi berada di sini. Sekarang cepat pergi, sisanya serahkan saja padaku.” Katanya.
“Tapi, musuh belum — ”
“Jangan mengoceh lagi. Dengarkan saja apa yang ku bilang.” Lagi-lagi ia menyanggah.
“Jangan khawatir, aku polisi. Semua musuh sudah tertangkap. Sekarang, pergilah sebab bahaya jika kalian berdua masih di sini. Polisi sedang dalam perjalanan, jika mereka tahu ada anak sekolah berkeliaran malam-malam, nanti bisa menjadi masalah. Jadi, cepat pergi, akan ku urus bandit-bandit itu.” lanjutnya lagi.
Aku mengangguk lalu membungkukkan badan sedikit sambil berterima kasih padanya.
“Temanmu masih di sana, dia agak terluka parah. Sebaiknya kau harus cepat.”
“Baik…” sahutku.
“Hey nak… siapa namamu?”
Aku yang tadinya hendak pergi lantas berehenti sejenak dan mengatakan padanya namaku. Ia lalu mengacungkan jari jempol.
“Akan ku ingat dirimu. Terima kasih sudah membuka jalan kasus ini. Kau sangat berbakat.” Katanya.
Ia lalu mengatakan padaku bahwa besok dirinya akan menemuiku di suatu tempat saat jam pulang sekolah tiba. Aku tak yakin apa maksudnya, tapi ia mengaku bahwa dirinya punya nomor teleponku. Entah dari mana ia dapatkan itu.
Setelah itu, aku pun bergegas menuju ke kelas X.9 untuk menemui Zaki. Ku lihat ia duduk manis di sudut tangga dengan kaki yang terperban.
“Kau baik-baik saja?” aku bertanya.
“Mungkin, jika tak ada orang itu yang datang meyelamatkanku, bisa saja lukaku lebih parah dari ini. Tapi, sebagai pengalaman pertama, ini tidak terlalu buruk. Selanjutnya, aku mulai tertarik dengan permainan seperti ini.” Jawab Zaki.
Aku tersenyum sambil membantunya berdiri. Dan karena kakinya terluka, aku juga harus menuntunnya untuk berjalan. Mengingat pesan si polisi tadi, sepertinya kami memang harus bergerak cepat, dan aku tahu jalan terbaik untuk keluar dari sekolah ini tanpa ada seorang pun yang menyadarinya
Cerpen ini menceritakan tentang masa lalu Detektif Jimmy saat masih SMA.